Senin, 31 Agustus 2015

GURU GADUNGAN part 3


MENGUNDURKAN DIRI JADI GURU



Dikarenakan adanya ketidakpuasaan dalam manajemen sekolah saya berniat mengundurkan diri jadi seorang guru. Permasalahan yang tidak ada titik temu antara guru dengan kepala sekolah menjadi penyebabnya. Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, bahwa sekolah tempat saya mengajar merupakan sekolah rintisan yang didirikan oleh beberapa mahasiswa. Mahasiswa memang mempunyai idealisme yang tinggi, namun terkadang idealisme itu menjadikan mahasiswa kurang berhati-hati dalam bertindak. Mungkin ini salah, ini hanya sekedar pendapat pribadi saya saja. Sekolah yang didirikan dengan penuh semangat dulu, kini mulai redup. Hal itu dikarenakan memang tidak adanya perencanaan yang matang dalam mendeklarasikan pendirian sekolah dulu. Dalam benak mereka mungkin yang terpikirkan tinggal buka sekolah, terima murid baru, ada guru yang mengajar, selasai. Tanpa memahami prosedur yang benar bagaimana seharusnya sekolah swasta itu dikelola dan beroperasi.


Setelah berjalan hampir 1 tahun, akhirnya tenaga guru yang mengajar mulai rontok berguguran satu persatu dengan berbagai alasan. Semangat 45 yang didengungkan mulai layu, hal ini dapat dipahami karena semua guru yang mengajar, termasuk saya merupakan tenaga guru freelance, alias tidak ada honor sama sekali, alias gotong royong, alias sambatan istilah orang jawa.

Kebersamaan yang akhirnya hilang karena kurangnya pengertian dari kepala sekolah


Tinggallah kami beberapa orang yang bertahan.

Sekitar 2,5 tahun berjalan, akhirnya izin operasional sekolah dikeluarkan oleh kementerian agama. Kami mulai agak tenang, bukan menyangkut masalah honor, tapi masalah legalitas sekolah yang selama ini dipertanyakan oleh beberapa orang yang meragukan keberadaan sekolah ini terjawab sudah. Dulu keberadaan sekolah ini sempat dikatakan ilegal dan tak mempunyai izin oleh beberapa orang. Dengan keluarnya izin operasional ini kami berharap semoga anak-anak yang baru tamat sekolah dasar tidak ragu untuk bersekolah ditempat kami.

Izin operasional merupakan hal yang penting bagi lembaga pendidikan, bukan sekedar masalah legalitas saja namun juga masalah kucuran dana dari pemerintah. Dengan dimilikinya izin operasional tersebut, maka sekolah berhak menerima dana hibah (dana rombongan belajar/rombel) dari pemerintah daerah setiap tahunnya. Selain dari rombel tersebut sekolah juga menerima bantuan dana Biaya Operasional sekolah (BOS) yang total biayanya dihitung berdasarkan jumlah siswa yang bersekolah disekolah yang bersangkutan.

Pada mulanya kami menyambut dengan suka cita dengan keadaan ini. Harapan kami untuk memperoleh honor walaupun sedikit sepertinya akan segera terwujud.

Tapi disinilah awal mula perselisihan dengan kepala sekolah itu dimulai.

Kami yang mengajar disekolah ini merupakan orang-orang yang lugu dan tidak banyak protes. Sepengetahuan kami dana yang diperoleh sekolah hanya dana rombel, sedangkan dana BOS kami tidak tahu apa-apa, kami pikir kami memang belum layak mendapatkannya melihat kondisi sekolah kami, yang gedung saja masih menumpang di gedung MDA. Ketidaktahuan kami mengenai dana BOS ini bisa terjadi dikarenakan komunikasi yang kurang antara para guru dengan kepala sekolah. Kurangnya komunikasi ini disebabkan jarangnya kepala sekolah datang melihat keadaan sekolah. Posisi beliau yang merangkap jabatan sebagai gutu pegawai negeri disekolah dasar di desa kami mungkin jadi penyebabnya.

Dikarenakan komunikasi yang kurang ini menyebabkan kepala sekolah tidak mengetahui apa perkembangan dan permasalahan yang terjadi disekolah. Perkembangan anak didik pun kepala sekolah tidak banyak mengetahuinya.  Bahkan terkadang beliau hanya mengunjungi sekolah sekali dalam sebulan.

Jarangnya bertemu antara kepala sekolah dengan para guru menyebabkan pengelolaan dana rombel sepenuh ditangan kepala sekolah, memang dana tersebut dipegang oleh bendahara tapi kami para guru tidak bisa menggunakannya dengan fleksibel. Kami harus menunggu persetujuan kepala sekolah untuk menggunakannya, memang seperti itu aturan mainnya. Dikarenakan beliau jarang datang, sehingga pengelolaan sekolah tidak berjalan dengan baik. dan honor yang kami impi-impikan itu hanya bisa kami terima 6 bulan sekali, itupun dengan nilai yang tidak seberapa dikarenakan dana rombel tersebut juga digunakan untuk operasional yang lain.

Dengan keadaan mengajar tanpa ada kejelasan honor, ditambah kepala sekolah selalu menuntut kami untuk selalu datang tepat waktu, kami berinisiatif untuk menambah guru baru. Kami berharap dengan adanya guru baru bisa mengurangi beban kami, sehingga masih memungkin bagi kami untuk mencari penghasilan dari pekerjaan lain. Tapi inisiatif kami ini ditolak mentah-mentah oleh kepala sekolah dengan berbagai alasan. Bahkan beliau menuntut kami untuk bersedia mengajar 24 jam pelajaran dengan keadaan yang sama, untuk hal ini kami juga menolaknya dengan alasan nanti kami tidak mempunyai waktu lagi untuk melakukan pekerjaan lain yang notabene sebagai penghidupan kami. Dari keadaan inilah kami sering berdebat (lebih cenderung kearah cekcok sebenarnya) dengan kepala sekolah setiap beliau mengunjungi sekolah.

Keadaan ini berlangsung berbulan-bulan. Cukup lama untuk sebuah perselisihan antara bawahan dengan atasan.

Melihat kondisi yang semakin ruwet, saya berpendapat bahwa tidak ada harapan disekolah ini bagi saya, saya harus memutuskan sesuatu demi menghidupi anak dan istri saya. Sepertinya juga tidak ada usaha yang dilakukan kepala sekolah untuk melakukan perubahan  sesuai dengan keinginan para dewan guru. Untuk mengundurkan diri secepatnya saya juga masih ragu. Siapa nanti yang mengurus sekolah dan mengajar anak-anak? Kasihan mereka yang tidak mengetahui apa-apa menjadi korbannya. Keinginan mengundurkan diri itu pun untuk sementara saya tahan.

Sehingga pada suatu hari, guru bahasa arab yang sekaligus mengajar pelajaran lain minta pengurangan jam pelajarannya, terutama jam bahasa  arab, beliau beralasan kurang menguasai pelajaran bahasa arab tersebut. Pas kebetulan pula rekan kami ada yang baru wisuda dengan jurusan bahasa arab. Tanpa meminta persetujuan kepala sekolah terlebih dahulu, karena memang beliau jarang datang dan tidak mengetahui kondisi dilapangan, kami tawari rekan kami tersebut untuk mengajar bahasa arab dengan kondisi seperti keadaan saat itu, Alhamdulillah rekan kami mau menerimanya. Memperoleh guru yang sesuai dengan bidangnya memang tujuan kami, terutama rekan kami bapak Erik Widi Riyanto. Beliau juga yang semangat memasukkan rekan kami yang baru wisuda tersebut. Biarlah beliau sendiri yang menyampaikan alasannya kalau kepala sekolah menanyakannya. Kebetulan saat itu mendekati masa-masa penerimaan siswa baru, sehingga rekan kami tersebut langsung pak Erik cantumkan namanya di brosur penerimaan siswa baru. Brosur yang kami cetak tersebut akhirnya terbaca juga oleh kepala sekolah, dan beliau menanyakan perihal nama guru bahasa arab tersebut. Lalu kami menjelaskannya dengan keadaan dan keinginan kami, tanpa kami duga beliau menolak mentah-mentah dan tidak mau mengakui guru bahasa arab yang baru tersebut. Kami mencoba menjelaskan bahwa guru bahasa arab yang lama tidak seberapa menguasai bahasa arab, sehingga sayang ada rekan kami yang menguasai bahasa arab tapi tidak kami ajak berpartisipasi untuk memajukan sekolah. Beliau tetap menolak alasan kami tanpa mau memahami keinginan dan keadaan kami, sehingga kami terus berdebat panjang lebar. Bahkan perdebatan itu juga menyinggung masalah honor kami. Perdebatan itu tidak menghasilkan titik temu karena berbeda sudut pandang.

Sudah tidak tahan dengan kondisi tersebut, saya dan beberapa rekan guru yang hadir pada hari itu menyatakan mengundurkan diri dari guru, dari pada terus bergumul dengan permasalahan yang tidak ada kesepakatannya. Dan beliau mempersilahkan kami jika kami tidak mau mengajar lagi. Sehingga pada hari itu kami resmi mengundurkan diri jadi guru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar