MENGUNDURKAN DIRI JADI GURU
Dikarenakan adanya ketidakpuasaan dalam manajemen sekolah saya
berniat mengundurkan diri jadi seorang guru. Permasalahan yang tidak ada titik
temu antara guru dengan kepala sekolah menjadi penyebabnya. Seperti yang telah
saya sebutkan sebelumnya, bahwa sekolah tempat saya mengajar merupakan sekolah
rintisan yang didirikan oleh beberapa mahasiswa. Mahasiswa memang mempunyai
idealisme yang tinggi, namun terkadang idealisme itu menjadikan mahasiswa
kurang berhati-hati dalam bertindak. Mungkin ini salah, ini hanya sekedar
pendapat pribadi saya saja. Sekolah yang didirikan dengan penuh semangat dulu,
kini mulai redup. Hal itu dikarenakan memang tidak adanya perencanaan yang
matang dalam mendeklarasikan pendirian sekolah dulu. Dalam benak mereka mungkin
yang terpikirkan tinggal buka sekolah, terima murid baru, ada guru yang
mengajar, selasai. Tanpa memahami prosedur yang benar bagaimana seharusnya
sekolah swasta itu dikelola dan beroperasi.
Setelah berjalan hampir 1 tahun, akhirnya tenaga guru yang mengajar mulai rontok berguguran satu persatu dengan berbagai alasan. Semangat 45 yang didengungkan mulai layu, hal ini dapat dipahami karena semua guru yang mengajar, termasuk saya merupakan tenaga guru freelance, alias tidak ada honor sama sekali, alias gotong royong, alias sambatan istilah orang jawa.
Tinggallah kami beberapa orang yang bertahan.
Sekitar 2,5 tahun berjalan, akhirnya izin operasional sekolah
dikeluarkan oleh kementerian agama. Kami mulai agak tenang, bukan menyangkut
masalah honor, tapi masalah legalitas sekolah yang selama ini dipertanyakan
oleh beberapa orang yang meragukan keberadaan sekolah ini terjawab sudah. Dulu
keberadaan sekolah ini sempat dikatakan ilegal dan tak mempunyai izin oleh
beberapa orang. Dengan keluarnya izin operasional ini kami berharap semoga
anak-anak yang baru tamat sekolah dasar tidak ragu untuk bersekolah ditempat
kami.
Izin operasional merupakan hal yang penting bagi lembaga pendidikan,
bukan sekedar masalah legalitas saja namun juga masalah kucuran dana dari
pemerintah. Dengan dimilikinya izin operasional tersebut, maka sekolah berhak
menerima dana hibah (dana rombongan belajar/rombel) dari pemerintah daerah
setiap tahunnya. Selain dari rombel tersebut sekolah juga menerima bantuan dana
Biaya Operasional sekolah (BOS) yang total biayanya dihitung berdasarkan jumlah
siswa yang bersekolah disekolah yang bersangkutan.
Pada mulanya kami menyambut dengan suka cita dengan keadaan ini.
Harapan kami untuk memperoleh honor walaupun sedikit sepertinya akan segera
terwujud.
Tapi disinilah awal mula perselisihan dengan kepala sekolah itu
dimulai.
Kami yang mengajar disekolah ini merupakan orang-orang yang lugu dan
tidak banyak protes. Sepengetahuan kami dana yang diperoleh sekolah hanya dana
rombel, sedangkan dana BOS kami tidak tahu apa-apa, kami pikir kami memang
belum layak mendapatkannya melihat kondisi sekolah kami, yang gedung saja masih
menumpang di gedung MDA. Ketidaktahuan kami mengenai dana BOS ini bisa terjadi
dikarenakan komunikasi yang kurang antara para guru dengan kepala sekolah.
Kurangnya komunikasi ini disebabkan jarangnya kepala sekolah datang melihat
keadaan sekolah. Posisi beliau yang merangkap jabatan sebagai gutu pegawai
negeri disekolah dasar di desa kami mungkin jadi penyebabnya.
Dikarenakan komunikasi yang kurang ini menyebabkan kepala sekolah
tidak mengetahui apa perkembangan dan permasalahan yang terjadi disekolah.
Perkembangan anak didik pun kepala sekolah tidak banyak mengetahuinya. Bahkan terkadang beliau hanya mengunjungi
sekolah sekali dalam sebulan.
Jarangnya bertemu antara kepala sekolah dengan para guru menyebabkan
pengelolaan dana rombel sepenuh ditangan kepala sekolah, memang dana tersebut
dipegang oleh bendahara tapi kami para guru tidak bisa menggunakannya dengan
fleksibel. Kami harus menunggu persetujuan kepala sekolah untuk menggunakannya,
memang seperti itu aturan mainnya. Dikarenakan beliau jarang datang, sehingga pengelolaan
sekolah tidak berjalan dengan baik. dan honor yang kami impi-impikan itu hanya
bisa kami terima 6 bulan sekali, itupun dengan nilai yang tidak seberapa
dikarenakan dana rombel tersebut juga digunakan untuk operasional yang lain.
Dengan keadaan mengajar tanpa ada kejelasan honor, ditambah kepala
sekolah selalu menuntut kami untuk selalu datang tepat waktu, kami berinisiatif
untuk menambah guru baru. Kami berharap dengan adanya guru baru bisa mengurangi
beban kami, sehingga masih memungkin bagi kami untuk mencari penghasilan dari
pekerjaan lain. Tapi inisiatif kami ini ditolak mentah-mentah oleh kepala
sekolah dengan berbagai alasan. Bahkan beliau menuntut kami untuk bersedia
mengajar 24 jam pelajaran dengan keadaan yang sama, untuk hal ini kami juga
menolaknya dengan alasan nanti kami tidak mempunyai waktu lagi untuk melakukan
pekerjaan lain yang notabene sebagai penghidupan kami. Dari keadaan inilah kami
sering berdebat (lebih cenderung kearah cekcok sebenarnya) dengan kepala
sekolah setiap beliau mengunjungi sekolah.
Keadaan ini berlangsung berbulan-bulan. Cukup lama untuk sebuah
perselisihan antara bawahan dengan atasan.
Melihat kondisi yang semakin ruwet, saya berpendapat bahwa tidak ada
harapan disekolah ini bagi saya, saya harus memutuskan sesuatu demi menghidupi
anak dan istri saya. Sepertinya juga tidak ada usaha yang dilakukan kepala
sekolah untuk melakukan perubahan sesuai
dengan keinginan para dewan guru. Untuk mengundurkan diri secepatnya saya juga
masih ragu. Siapa nanti yang mengurus sekolah dan mengajar anak-anak? Kasihan
mereka yang tidak mengetahui apa-apa menjadi korbannya. Keinginan mengundurkan
diri itu pun untuk sementara saya tahan.
Sehingga pada suatu hari, guru bahasa arab yang sekaligus mengajar
pelajaran lain minta pengurangan jam pelajarannya, terutama jam bahasa arab, beliau beralasan kurang menguasai
pelajaran bahasa arab tersebut. Pas kebetulan pula rekan kami ada yang baru
wisuda dengan jurusan bahasa arab. Tanpa meminta persetujuan kepala sekolah
terlebih dahulu, karena memang beliau jarang datang dan tidak mengetahui
kondisi dilapangan, kami tawari rekan kami tersebut untuk mengajar bahasa arab
dengan kondisi seperti keadaan saat itu, Alhamdulillah rekan kami mau
menerimanya. Memperoleh guru yang sesuai dengan bidangnya memang tujuan kami,
terutama rekan kami bapak Erik Widi Riyanto. Beliau juga yang semangat
memasukkan rekan kami yang baru wisuda tersebut. Biarlah beliau sendiri yang
menyampaikan alasannya kalau kepala sekolah menanyakannya. Kebetulan saat itu
mendekati masa-masa penerimaan siswa baru, sehingga rekan kami tersebut
langsung pak Erik cantumkan namanya di brosur penerimaan siswa baru. Brosur
yang kami cetak tersebut akhirnya terbaca juga oleh kepala sekolah, dan beliau
menanyakan perihal nama guru bahasa arab tersebut. Lalu kami menjelaskannya
dengan keadaan dan keinginan kami, tanpa kami duga beliau menolak mentah-mentah
dan tidak mau mengakui guru bahasa arab yang baru tersebut. Kami mencoba
menjelaskan bahwa guru bahasa arab yang lama tidak seberapa menguasai bahasa
arab, sehingga sayang ada rekan kami yang menguasai bahasa arab tapi tidak kami
ajak berpartisipasi untuk memajukan sekolah. Beliau tetap menolak alasan kami
tanpa mau memahami keinginan dan keadaan kami, sehingga kami terus berdebat
panjang lebar. Bahkan perdebatan itu juga menyinggung masalah honor kami.
Perdebatan itu tidak menghasilkan titik temu karena berbeda sudut pandang.
Sudah tidak tahan dengan kondisi tersebut, saya dan beberapa rekan
guru yang hadir pada hari itu menyatakan mengundurkan diri dari guru, dari pada
terus bergumul dengan permasalahan yang tidak ada kesepakatannya. Dan beliau
mempersilahkan kami jika kami tidak mau mengajar lagi. Sehingga pada hari itu
kami resmi mengundurkan diri jadi guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar